Dampak Lengkap Pendudukan
Jepang di Indonesia - Pendudukan Jepang di Indonesia dibagi dalam tiga
wilayah.
- Pemerintahan Militer Angkatan Darat ke-25 (Tentara Keduapuluhlima), wilayahkekuasaannya meliputi Sumatra dengan pusat pemerintahan di Bukittinggi.
- Pemerintahan Militer Angkatan Darat ke-16 (Tentara Keenambelas), wilayah kekuasaannyameliputi Jawa dan Madura dengan pusat pemerintahan di Jakarta.
- Pemerintahan Militer Angkatan Laut II (Armada Selatan Kedua), wilayah kekuasaannya meliputi Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku dengan pusat pemerintahan di Makassar.
Pemerintahan pendudukan militer di Jawa
sifatnya hanya sementara, sesuai dengan Osamu
Seirei Nomor 1 Pasal 1 yang dikeluarkan tanggal 7 Maret 1942 oleh Panglima Tentara
Keenambelas. Undang-undang tersebut menjadi pokok peraturan-peraturan
ketatanegaraan pada masa . pendudukan Jepang. Jabatan gubernur jenderal di
zaman Hindia Belanda dihapuskan. Segala kekuasaan yang dahulu dipegang gubernur
jenderal sekarang dipegang oleh panglima tentara Jepang di Jawa. Undang-undang
tersebut juga mengisyaratkan bahwa pemerintahan pendudukan Jepang berkeinginan
untuk terus menggunakan aparat pemerintah sipil yang lama beserta para
pegawainya. Hal ini dimaksudkan agar pemerintahan dapat terus berjalan dan
kekacauan dapat dicegah. Adapun pimpinan pusat tetap dipegang tentara Jepang.
Susunan pemerintahan militer Jepang sebagai berikut.
- Gunshireikan (panglima tentara), kemudian disebut Saiko Shikikan (panglima tertinggi), merupakan pucuk pimpinan.
- Gunseikan (kepala pemerintahan militer), dirangkap oleh kepala staf tentara.
- Gunshireikan bertugas menetapkan peraturan yang dikeluarkan oleh Gunseikan. Peraturan itu disebut Osamu Kanrei. Peraturan-peraturan tersebut diumumkan dalam Kan Po (berita pemerintahan), sebuah penerbitan resmi yang dikeluarkan oleh Gunseikanbu. Gunseikanbu adalah staf pemerintahan militer pusat yang terdiri dari lima bu (departemen): Sumabu (Departemen Urusan Umum), Zaimubu (Departemen Keuangan), Sangyobu (Departemen Perusahaan, Industri, dan Kerajinan), Kotsubu (Departemen Lalu Lintas), dan Shihobu (Departemen Kehakiman).
Koordinator pemerintahan militer setempat disebut gunseibu.
Pusat-pusat koordinator militer tersebut berada di Bandung (Jawa Barat),
Semarang (Jawa Tengah), dan Surabaya (Jawa Timur). Selain itu, dibentuk pula
dua daerah istimewa (koci), yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Untuk setiap gunseibu
ditempatkan beberapa komandan militer setempat. Mereka bertugas memulihkan
ketertiban dan keamanan, menanamkan kekuasaan, dan membentuk pemerintahan
setempat. Mereka juga diberi wewenang untuk memecat para pegawai yang
berkebangsaan Belanda. Akan tetapi, usaha untuk membentuk pemerintahan setempat
ternyata tidak berjalan lancar. Jepang masih sangat kekurangan tenaga
pemerintah. Jepang telah berusaha mengirimkan tenaga yang dibutuhkan, namun
tidak sampai ke tujuan karena kapal yang mengangkut tenaga-tenaga pemerintahan
tersebut tenggelam setelah terkena serangan torpedo sekutu. Akhirnya, Jepang
terpaksa mengangkat pegawai-pegawai dari bangsa Indonesia asli. Hal ini memberi
keuntungan bagi pihak Indonesia karena memperoleh pengalaman dalam bidang
pemerintahan.
Menurut Undang-Undang No. 27 tentang Perubahan Tata
Pemerintahan Daerah, seluruh Pulau Jawa dan Madura (kecuali kedua koci,
Surakarta dan Yogyakarta) dibagi atas enam wilayah pemerintahan.
- Syu (karesidenan), dipimpin oleh seorang syuco.
- Syi (kotapraja), dipimpin oleh seorang syico.
- Ken (kabupaten), dipimpin oleh seorang kenco.
- Gun (kawedanan atau distrik), dipimpin oleh seorang gunco.
- Son (kecamatan), dipimpin oleh seorang sonco.
- Ku (kelurahan atau desa), dipimpin oleh seorang kuco.
Dalam menjalankan pemerintahan, syucokan dibantu oleh Cokan
Kanbo (Majelis Pemusyawaratan Cokan) yang terdiri dari tiga bu (bagian), yaitu
Naiseibu (bagian pemerintahan umum), Keizaibu (bagian ekonomi), dan Keisatsubu
(bagian kepolisian). Para syucokan secara resmi dilantik oleh gunseikan pada
bulan September 1942. Pelantikan ini merupakan awal dari pelaksanaan organisasi
pemerintahan daerah dan menyingkirkan pegawai-pegawai Indonesia yang pernah
menduduki kedudukan tinggi pada masa pemerintahan sementara. Pemerintahan
militer di Sumatra yang berada di bawah Panglima Tentara Keduapuluhlima
membentuk sepuluh karesidenan (syu) yang terdiri dari bungsyu (subkaresidenan),
gun, dan son. Kesepuluh syu tersebut adalah Aceh, Sumatra Timur, Sumatra Utara,
Sumatra Barat, Bengkulu, Jambi, Palembang, Lampung, dan Bangka Bilitan
(Belitung). Jabatan syucokan dipegang oleh orang Jepang. Selain pemerintahan
militer (gunsei) angkatan darat, Armada Selatan Kedua juga membentuk suatu
pemerintahan yang disebut Minseibu.
Pemerintahan ini terdapat di tiga tempat, yaitu Kalimantan, Sulawesi, dan
Seram. Daerah bawahannya meliputi syu, ken, bunken (subkabupaten), gun, dan
son. Seperti di Pulau Jawa dan Sumatra, tidak lama setelah pendaratan tentara
Jepang, orang-orang Indonesia mendapatkan jabatan-jabatan tinggi. Namun,
setelah bulan Agustus 1942, jabatanjabatan yang disediakan untuk orang
Indonesia hanya terbatas sampai gunco dan sanco, sedangkan jabatan wali kota
untuk Makassar, Manado, Banjarmasin, dan Pontianak dipegang oleh orang Jepang.
Dalam bidang ekonomi, Jepang membuat kebijakan-kebijakan
yang pada intinya terpusat pada tujuan mengumpulkan bahan mentah untuk industri
perang. Ada dua tahap perencanaan untuk mewujudkan tujuan tersebut, yaitu tahap
penguasaan dan tahap menyusun kembali struktur.
Pada tahap penguasaan, Jepang mengambil alih pabrik-pabrik
gula milik Belanda untuk dikelola oleh pihak swasta Jepang, misalnya, Meiji
Seilyo Kaisya dan Okinawa Seilo Kaisya. Adapun dalam tahap restrukturisasi
(menyusun kembali struktur), Jepang membuat kebijakankebijakan berikut.
- Sistem autarki, yakni rakyat dan pemerintah daerah wajib memenuhi kebutuhan sendiriuntuk menunjang kepentingan perang Jepang.
- Sistem tonarigumi, yakni dibentuk organisasi rukun tetangga yang terdiri atas 10 - 20 KKuntuk mengumpulkan setoran kepada Jepang.
- Jepang memonopoli hasil perkebunan berdasarkan UU No. 22 Tahun 1942 yang dikeluarkanoleh Gunseikan.
- Adanya pengerahan tenaga untuk kebutuhan perang.
Pengaruh Jepang dalam bidang pendidikan dan kebudayaan di
Indonesia sebagai berikut.
- Bahasa Belanda dilarang digunakan. Sebagai gantinya, bahasa Jepang dan bahasa Indonesia wajib digunakan di sekolah-sekolah dan kantor-kantor. Selain itu, Jepang juga mengajarkan penggunaan aksara Kanji, Hiragana, dan Katakana.
- Untuk mengembangkan bidang budaya, diterbitkan koran berbahasa Jepang dan dibukakursus bahasa Jepang.
- Rakyat diwajibkan mengikuti tradisi menghormat matahari dengan seikeirei atau menghadap ke timur pada setiap pagi ketika matahari terbit.
- Pada tanggal 1 April 1943 didirikan Pusat Kebudayaan Keiman Bunka Shidosko.
Sebagai usaha penunjang kebutuhan perang, Jepang
memberlakukan mobilitas sosial yang meliputi:
- pelaksanaan kinrohoshi atau latihan kerja paksa,
- pelaksanaan romusa atau kerja paksa tanpa bayarselamanya, dan
- pembentukan tonarigumi atau organisasi rukun tetangga.
Untuk membangun mentalitas, ditanamkan seiskin atau semangat
serta bhusido atau jalan ksatria yang berani mati, rela berkorban, siap
menghadapi bahaya, dan menjunjung tinggi keperwiraan. Bentuk-bentuk organisasi
kemiliteran yang dibentuk Jepang sebagai berikut.
- Seinendan, yaitu barisan pemuda yang berumur14 – 22 tahun.
- Iosyi Seinendan, yaitu barisan cadangan atauseinendan putri.
- Bakutai, yaitu pasukan berani mati.
- Keibodan, yaitu barisan bantu polisi yang anggota-nya berusia 23 – 35 tahun. Barisan ini di Sumatra disebut Bogodan dan di Kalimantan disebut Borneo Konon Hokokudan.
- Hisbullah, yaitu barisan semimiliter untuk orang Islam.
- Heiho, yaitu pembantu prajurit Jepang yang anggotanya berusia 18– 25 tahun.
- Jawa Sentotai, yaitu barisan benteng perjuangan Jawa.
- Suisyintai, yaitu barisan pelopor.
- Peta atau Pembela Tanah Air, yaitu tentara daerah yang dibentuk oleh Kumakichi Harada berdasarkan Osamu Serei No. 44 tanggal 23 Oktober 1943.
- Gokutokai, yaitu korps pelajar yang dibentuk pada bulan Desember 1944.
- Fujinkai, yaitu himpunan wanita yang dibentuk pada tanggal 23 Agustus 1943.
Jabatan-jabatan militer yang dapat diperoleh setelah seseorang
menamatkan pendidikan adalah sebagai berikut.
- Daidanco (komandan batalyon), dipilih dari kalangan tokoh-tokoh masyarakat, seperti pegawai pemerintah, pemimpin agama, pamong praja, politikus, dan penegak hukum.
- Cudanco (komandan kompi), dipilih dari kalangan mereka yang telah bekerja, namun belum mencapai pangkat yang tinggi, seperti guru dan juru tulis.
- Shodanco (komandan peleton), umumnya dipilih dari kalangan pelajar sekolah lanjutan pertama atau sekolah lanjutan atas.
- Budanco (komandan regu), dipilih dari kalangan pemuda yang lulus sekolah dasar.
- Giyuhei (prajurit sukarela), dipilih dari kalangan pemuda yang masih setingkat sekolah dasar.
Calon perwira Peta mendapat latihan pertama kali di Bogor.
Setelah mendapatkan latihan-latihan tersebut, tentara Peta ditempatkan di
daidan-daidan (batalyon) yang tersebar di Jawa, Madura, dan Bali. Semuanya
berjumlah 66 daidan. Dalam perkembangannya, banyak anggota Peta yang merasa
kecewa terhadap pemerintah pendudukan Jepang. Mulai tahun 1944 terjadi
pemberontakan pemberontakan, yang terbesar adalahTentara Peta pemberontakan
Peta Blitar, Jawa Timur, pada tanggal 14 Februari 1945 yang diikuti oleh
sekitar separuh dari seluruh anggota daidan. Sayangnya, pemberontakan yang
dipimpin oleh Supriyadi dan Muradi tersebut dapat ditumpas Jepang.[pi]